Pertanyaan:
Bagaimana hukum bekerja sebagai pegawai negeri (dari sisi medapat gaji dari instansi pemerintah – ed), karena sumber dana pemerintah selain dari dana halal juga dari dana yang tidak jelas, seperti: pariwisata dan pajak?
Jawaban:
Gaji pegawai negeri tergantung jenis pekerjaan itu sendiri.
Pertama, pekerjaan yang haram, maka gajinya juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan sesuatu, Dia mengharamkan pula hasil (upahnya).” (Hr. Ahmad: 1/247 dan 293, dan Abu Daud: 3488; dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad: 5/661)
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغْيِ وَحِلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Hr. Bukhari 2237 dan Muslim 2985)
Kedua, apabila gajinya dari pekerjaan yang halal, maka gajinya juga halal, sekalipun sumber dana pemerintah yang digunakan sebagai gaji tersebut bercampur antara halal dengan haram, selagi dia tidak mengetahui bahwa uang gaji yang dia terima jelas-jelas haram.
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun di atas beberapa kaidah:
- Asal segala sesuatu adalah halal. Kaidah agung ini berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali dari al-Quran dan sunnah. Terkait dengan sumber dana pemerintah yang bercampur antara halal, haram, syubhat, selagi si pegawai tidak mengetahui secara pasti bahwa uang yang dia terima adalah uang haram, maka hukum gajinya termasuk dalam kaidah ini.
- Para ulama ahli fikih menyebutkan bahwa harta yang berada di tangan para pencuri, atau titipan dan pegadaian yang tidak diketahui pemiliknya, apabila tidak mungkin untuk dikembalikan kepada pemiliknya, maka wajib disedekahkan atau diberikan ke baitul mal. Bagi orang yang diberi sedekah, harta tersebut adalah harta yang halal. Padahal, telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut jelas-jelas milik orang lain, yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. Jika harta tersebut halal, maka harta yang tidak diketahui keadaaannya dan tidak dipastikan kejelasannya, tentu saja lebih jelas kehalalannya.
Agama Islam dibangun di atas kemaslahatan dan membendung kerusakan. Dana pemerintah tersebut pasti diberikan. Mungkin diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang berhak menerimanya. Tentu saja, pihak kedua (orang yang berhak menerima) ini lebih berhak menerimanya (dibandingkan orang yang tidak berhak menerima).
Seandainya ahli agama yang berhak menerimanya tidak mau menerima uang dari dana pemerintah tersebut, lalu uang tersebut diambil oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka akan terjadi kerusakan yang banyak sekali dan akan banyak kemaslahatan yang akan terhambat. Padahal, syariat Islam dibangun di atas kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan. (Lihat: Al-Ajwibah as-Sa’diyyah ‘anil Masa’il al-Kuwaitiyyah, hlm. 163—164, oleh Syekh Abdur Rahman as-Sa’di, tahqiq Dr. Walid bin Abdillah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan memenuhi undangan makanan dari orang Yahudi. Padahal kita semua mengetahui bahwa orang Yahudi memakan uang hasil riba dan sebagainya, dengan jalan yang batil. Lantas, bagaimana kiranya hukum menerimanya dari seorang muslim? Jelas lebih halal.
Disadur dari Majalah Al-Furqon, edisi 3, tahun ke-5, 1426 H/2005.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
🔍 Rambut Rontok Saat Haid, Hukum Menutupi Aib Dari Calon Suami, Berbuat Zina Tapi Sholat, Mengatasi Kegalauan, Dalil Tauhid Rububiyah